Dalam surat Al Fatihah, Allah mengajarkan kita untuk meminta hidayah menuju jalan yang lurus:
اِهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ () صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيهِم
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat pada mereka.”
Siapa orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Allah jelaskan dalam ayat lain:
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul maka mereka bersama orang-orang yang Allah beri nikmat atas mereka dari kalangan nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang shalih.” (QS. An Nisa’: 69)
Dalam ayat, Allah menggunakan kata (أَنْعَمْتَ) untuk mengungkapkan pemberian hidayahNya kepada orang-orang sebelum kita. Dia ungkapkan hidayah sebagai nikmat karena nikmat itu memiliki kelezatan yang menyenangkan jiwa. Demikian pulalah hidayah, dia mengandung kelezatan yang membuat rindu setiap jiwa yang merasakannya.
Allah ungkapkan pemberian nikmatNya dengan fi’il madhi, sedangkan Allah jika sudah memberi sesuatu maka ia tidak akan meminta kembali pemberianNya itu. Maka seakan-akan Allah ingin agar orang-orang yang Dia berikan nikmat hidayah memiliki nikmat hidayah tersebut dan tidak ada celah bagi orang lain untuk mencabut nikmat hidayah itu dari mereka.
(Disadur secara ringkas dari Nazharat Lughawiyah, Dr. Shalih bin Husain al ‘Ayid, hal. 53)
Jazakumullahu Khairan