Kisah Ulama dalam Belajar Bahasa Arab

Dalam melakukan suatu hal, terkadang kita akan menemukan kesulitan layaknya tembok tebal yang menghadang dan sulit bagi kita untuk menembusnya. Begitu pula di dalam menuntut ilmu, terlebih lagi mempelajari ilmu bahasa arab. Lantas bagaimana sikap kita? Berbalik arah? Putus asa? Atau segera mungkin mengambil palu atau alat lainnya untuk menghancurkan tembok tersebut?
Mempelajari bahasa arab, sangat dibutuhkan ketekunan dan kegigihan dalam prosesnya. Mempelajarinya tidak-lah semudah membaca huruf-huruf arab, namun juga perlu ketangkasan dan kecerdasan di dalam mempraktikannya.
Sebagian besar orang yang mempelajari bahasa arab, mereka hanya sampai setengah perjalanan saja, bahkan ada juga yang baru berjalan beberapa langkah, langsung mundur dan tidak melanjutkannya kembali.
Kebanyakan mereka hanya memikirkan kesulitan yang dialami ketika melakukannya. Kenapa kita hanya melihat sisi negatif dari mempelajari bahasa arab? Bahwa mempelajari bahasa arab itu sulit, ribet, banyak hafalan, praktiknya susah dan sebagainya.
Kenapa kita tidak memikirkan hal-hal apa saja yang akan kita dapatkan ketika telah menguasai bahasa arab? Kenapa kita tidak membayangkan apa yang akan kita dapatkan dan apa yang bisa kita hindari ketika menguasai bahasa arab?
Dan sungguh banyak sekali keutamaan dan keuntungannya ketika seseorang menguasai bahasa arab. Yang paling penting adalah kita bisa memahami Al-Qur’an menjadi lebih baik.
Berputus asa adalah sifat orang kafir yang hendaknya kita jauhi, bukankah Allah Ta’ala berfirman :

وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Jika kita melihat bagaimana para ulama dalam menuntut ilmu, tentu kita akan bertanya-tanya dan berdecak kagum melihat perbuatannya.
Bagaimana Ibnu Thahir al-Maqdisy sampai 2 kali kencing darah ketika perjalanan mencari ilmu sambil memanggul kitab-kitab di punggungnya. Bagaimana Imam An-Nawawi membaca 12 jenis ilmu yang berbeda dalam sehari. Majduddin Ibn Taimiyyah (Kakek Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) tidak rela jika waktunya terbuang sia-sia, sampai-sampai ketika hendak masuk WC pun, ia meminta orang lain untuk membacakan kitab dengan keras, agar dirinya ketika di dalam WC dapat mendengar dan mengambil faidah dari apa yang didengarnya.
Mereka melakukan hal tersebut karena tujuan yang mulia, karena manfaat yang begitu besar ketika mereka telah menguasainya.
Tidak terlintas pada jiwa mereka rasa putus asa atau mudah menyerah. Karena jika demikian keadaannya, tidaklah mungkin mereka mendapat kedudukan yang tinggi di hati kaum muslimin.
Pernahkah kita mendengar kisah ulama ilmu nahwu? Al-Kisa’I namanya. Jika saja beliau menyerah di dalam mempelajari ilmu nahwu, tentu kita tidak mendapatkan kemudahan di dalam memahami bahasa arab. Karena kebanyakan buku-buku kaedah bahasa arab, bersumber dari beliau
Asy-Syaikh ‘Utsaimin berkata dalam Kitabul ‘Ilmi :
“Guru kami Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Si’di pernah bercerita kepada saya, dikisahkan tentang Al-Kisa’i, Imam penduduk kuffah dalam bidang nahwu. Beliau mempelajari ilmu nahwu namun belum sanggup menguasainya. Pada suatu hari beliau mengamati seekor semut yg membawa makanan miliknya. Semut itu berusaha menaiki tembok dengan membawa makanan tersebut. Setiap kali semut tersebut naik, ia terjatuh. Namun semut tersebut tetap terus berupaya melewati rintangan itu, hingga akhirnya ia bisa naik ke atas tembok. Al- Kisa’i berkata dalam hatinya, “Semut ini pantang menyerah hingga akhirnya sampai pada tujuan”. Lalu beliau terus menekuni ilmu nahwu hingga beliau menjadi Imam dalam bidang nahwu.”
ant-954015_1920

Setiap kali semut tersebut naik, ia terjatuh. Namun semut tersebut tetap terus berupaya melewati rintangan itu, hingga akhirnya ia bisa naik ke atas tembok

Karenanya, ketika kita menemukan kesulitan dalam melakukan suatu hal, pikirkanlah apa yang akan kita dapatkan ketika kita menguasainya, sehingga semangat itu akan muncul dan menjadi alat pendorong yang kuat untuk menghancurkan tembok-tembok setebal apapun.
Sebagaimana kita bersemangat menuntut ilmu dunia agar mendapatkan uang dan bisa memperoleh apa yang diinginkan, begitu pula hendaknya kita bersemangat di dalam mempelajari ilmu agama, terlebih lagi ilmu bahasa arab, agar kita mendapatkan pahala dan masuk ke dalam surga Allah Ta’ala, Insyaallah.
 
Penulis : Rian Permana (Alumni Ma’had Al-‘Ilmi 1426-1428 H)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *